TASAWUF DI INDONESIA
MAKALAH
AKHLAK TASAWUF
“TASAWUF DI INDONESIA”
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah swt
yang telah memberikan rahmat, nikmat serta karunia-Nya kepada kami, karena atas kehendak-Nya pulalah kami
dapat menyelesaikan makalah ini.
Tema atau judul dari makalah ini adalah “TASAWUF DI
INDONESIA”.
Adapun isi dari makalah ini adalah tentang
sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia, aliran tasawuf di Indonesia, tokoh-tokoh tasawuf
di Indonesia, dan pengaruh
dan pengalaman tasawuf di Indonesia. Harapan kami semoga makalah ini dapat
bermanfaat, sehingga dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini dari
awal sampai akhir. Dan semoga Allah SWT senantiasa
selalu meridho’i segala usaha kita.
Binjai, November 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf di Indonesia
B.
Aliran
Tasawuf di Indonesia
C.
Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia
1. Hamzah Al-Fansuri
2. Syamsuddin
Al-Sumatrani
3. Nuruddi Ar-Raniri
4. Syekh Abdul Rauf As-Sinkili
5. Abdul
Shamad Al-Palimbani
6. Syekh Yusuf Al-Makasari
D. Pengaruh dan Pengalaman Tasawuf di Indonesia
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkembangan-perkembangan tasawuf di
Indonesia erat kaitanya dengan budaya- budaya bangsa Indonesia yang
bersifat mistik, tasawuf dapat berkembang secara cepat dalam persebarannya.
Tasawuf merupakan bagian dari metode penyebaran ajaran Islam yang sangat mempunyai
kemiripan dalam metode pendekatan-pendekatan agama Hindu-Budha yang merupakan
sistem keagamaan masyarakat Indonesia sebelum Islam. Kemiripan dalam metode
pendekatan dengan latihan kerohanian, inilah yang kemudian mempermudah
berkembangnya tasawuf di Indonesia. Tasawuf merupakan alat dari salah satu
persebaran islam di Indonesia.Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar
penyebaran islam di nusantara merupakan jasa para sufi.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada
penulisan kali ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah
perkembangan tasawuf di Indonesia?
2.
Bagaimana aliran
tasawuf di Indonesia?
3.
Siapa saja
tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?
4.
Bagaimana pengaruh
dan pengalaman tasawuf di Indonesia?
C. TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan
ditulisnya makalah ini antara lain guna menjawab segala rumusan masalah yang
ada. Yaitu:
1.
Untuk mengetahui
sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia
2.
Untuk mengetahui
aliran tasawuf di Indonesia
3.
Untuk mengetahui
tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia
4.
Untuk mengetahui
pengaruh dan pengalaman tasawuf di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA
Membahas perkembangan tasawuf di
Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab,
sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi.[1]
Kemunculan Tasawuf tersebut ada yang
beranggapan, bahwa tasawuf muncul dan berkembang disebabkan adanya beberapa
alasan adalah hal yang tidak dapat diingkari. Dalam perspektif sejarah, tasawuf
muncul dan berkembang sebagai akibat dari kondisi sosio kultur dan politik pada
masa rezim pemerintahan kaum ‘Umawi di Damaskus.[2]
Keberadaan tasawuf di
Nusantara tidak bisa lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini.
Sebab, tidaklah berlebihan kalau di katakan, bahwa tersebar luasnya islam di
Indonesia sebagian besar adalah karena jasa para sufi. Akan tetapi, belakangan
ini sufisme yang melandasi etos kerja mereka itu, kelihatannya hampir
terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja. Tasawuf menjadi unsur yang
cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula di
tunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaaan kerajaan-kerajaan
islam di Aceh sampai pada masa Wali Sanga di Jawa.
Perkembangan Islam di
Jawa untuk selanjutnya, umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui dan
dikenal dengan panggilan Wali Sanga atau Wali Sembilan. Semenjak
penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, kelihatannya
secara pelan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan
tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena telah
tergantikan oleh model spiritualis non religious. Maka kehidupan di
Indonesia secara berangsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para
sufi terdahulu. Sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan ketimbang
sufismenya sendiri.[3]
Semenjak penyiaran
Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan
terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal.
Karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para
sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada
sufismenya.[4]
B. ALIRAN
TASAWUF DI INDONESIA
Lintasan sejarah tasawuf pada yang
sama, maka untuk menelusuri aliran-aliran tasawuf yang berkembang di Indonesia,
dapat dilakukan dengan melihat kembali konsep-konsep tasawuf yang berkembang
pada kurun waktu kerajaan-kerajaan islam di wilayah Aceh. Karya tulis Hamzah
Fansuri dan Sufi sezamannya, tampaknya tasawuf kalsafi yang mereka kembangkan.
Sebab, konsep tanazul dan taraqqi hamzah fansuri yang kemudian dikembangkan
oleh muridnya Syamsuddin Pasai, adalah modifikasi dari konsepsi tajalli tasawuf
Ibn Arabi, yang diawali konsep Al-Fana Abu Yazid Al-Busthami. Konsepsi kedua
sufi ini ditantang oleh Abdul Rauf Singkel dan mendapat dukungan kuat dari
Nuruddin Ar-Raniri melalui konsepi wahdad As-Syuhud yang merupakan penghaluan
dari doktrin Al-ittihad Abu Yazid.[5]
Dalam perkembangan islam selanjutnya,
sistem pendidikan masyarakat peninggalan Hindu dan Budha diteruskan oleh para
penyiar Islam. Proses tranformasi ilmu keislaman dilakukan secara “sorongan”
yang kemudian meningkat dengan cara “bandongan” dan ”wetonan”.
Dari embrio model ini kemudian bermunculan model pendidikan Islam yang dikenal
dengan pesantren dan tarekat sebagai lembaga tasawuf. Semakin kuatnya pengaruh
Mazhab Syafi’i, maka sufisme yang dipelajari di pesantren adalah tasawuf Sunni
yang bersumber dari tasawuf Al-Ghazali. Terutama bagi yang ingin mendalami
tasawuf dapat memilih diantara dua kemungkinan, yakni apakah tasawuf dilihat
sebagai suatu aspek ilmu yang mandiri ataukah sebagai suatu tarekat yang
melembaga. Apabila pilihan jatuh pada yang pertama, maka mulailah dari tasawuf
akhlak dan meningkat ke tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Peningkatan
intensitas dan kualitas ibadah dan pendalaman kesadaran spiritual, dipandang
lebih tepat melalui lampiran ini, maka tasawuf akhlak, tasawuf amali, dan
tasawuf falsafi adalah cabang -cabang sufisme yang penting relevan untuk
dikembangkan di nusantara ini. Khusus tasawuf falsafi tetap berposisi
strategis, terutama dalam rangka pendalaman dan penghalusan kesadaran spiritual
keagamaan yang kelihatannya semakin menipis. Dengan mendalami sufisme aliran
ini, sangat berkemungkinan akan dapat diantisipasi dan control perkembangan
spiritual nonagama dan atau aliran kepercayaan.[6]
C. TOKOH-TOKOH
TASAWUF DI INDONESIA
1. Hamzah
Al-Fansuri
Pemikiran
Al-Fansuri tentang tasawuf banyak di pengaruhi Ibn’ Arabi dalam paham wahda
Al-wujud-nya. Diantara ajaran Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat
wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan
banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (madjhar, kenyataan
lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin).
2. Syamsuddin
Al-Sumatrani
Pemikiran
tasawufnya Syamsuddin membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat
Tuhan. Konsep Martabat Tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn
Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.
3. Nuruddi
Ar-Raniri
Gema pemikiran Ar-Raniri sampai juga ke
daerah nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak di pelajari orang. Beliau
memang seorang pengarang yang sangat produktif. Pemikiran-pemikiran tasawuf
Nuruddin Ar-Raniri terhadap kaum sufi yang menganut paham wujudiyah. Nuruddin
berkata bahwa ayat itu telah di tafsirkan oleh kaum wujudiyah secara salah,
yaitu bahwa alam atau insane ke luar dari Allah dan kembali bersatu dengan-Nya.[7]
Meskipun pemikiran tasawuf Ar-Raniri
terkesan sangat luas, tetapi sesungguhnya pemikirannya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a.
Tentang Tuhan
b.
Tentang Alam
c.
Tentang Manusia
d.
Tentang Wujudiyah
e.
Tentang hubungan
Syari’at dan Hakikat.[8]
4. Syekh
Abdul Rauf As-Sinkili
Syekh
Abd. Rauf Al-Sinkili tetap menolak paham wujudnya yang menganggap adanya
penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa oleh
muridnya, Syekh Abd. Muhyi pemijahan ke Jawa. Pemikiran tasawuf Al-Sinkili
dapat dilihat antara lain pada persoalan untuk merekonsiliasi antara tasawuf
dan syari’at.
Al-Sinkili
juga mempunyai pemikiran tentang zikir. Dalam pandangannya, zikir merupakan
suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa.[9]
Ajaran
tasawuf Al-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan Syekh
Abd. Rauf Al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang sebagai penganjur
Tarekat Syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara. Menurutnya, ada tiga
martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la
ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih
berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdad atau ta’ayyun
awwal, yaitu sudah tercipta haqiqqt Muhammadiyah yang potensial bagi
terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
stani, yaitu disebut juga dengan ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah
alam tercipta.[10]
Ajaran
Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang
tersendiri. Dalam masalah keagamaan beliau mengikuti paham Ahlussunnah Walja’ah
dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut Syafi’iyah, sedangkan
dalam tasawuf mengikuti Thariqat Syattariyah dan paham-paham ini pulalah
yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.
5.
Abdul
Shamad Al-Palimbani
Dapat
dipahami bahwa corak tasawuf Palimbani adalah menggambungkan unsur-unsur ajaran
al-Ghazali dan Ibn Arabi, yang diolah dan disajikan dalam suatu system ajaran
tasawuf tersendiri. Ia menganut paham Ibn Arabi yang memandang manusia secara
potensial sebagai manifestasi Allah yang paling sempurna. Meskipun ditafsirkan
sedemikian rupa agar tidak menimbulkan pengertian pantheistic, yang menganggap
bahwa Allah itu adalah alam semesta secara keseluruhan, dan alam semesta secara
keseluruhan adalah Allah.[11]
6.
Syekh Yusuf
Al-Makasari
Syekh
Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak asumsi dasar bahwa ajaran
Islam meliputi dua aspek, yaitu: aspek lahir (syari’at) dan aspek batin
(hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu
kesatuan. Syekh Yusuf menggaris bawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil
bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan tuhan.[12]
Kalau
ajarannya ialah untuk memudahkan pembahasan mengenai ajaran-ajaran Hamzah
Fansuri di kelompok sebagai berikut:
a. Wujud
menurut Hamzah Fansuri, hanyalah satu.
b. Allah
menurut Hamzah Fansuri, dzat yang mutlak dan qadim.
c. Penciptaan,
sebenarnya hakikat dari Allah itu adalah dzat yang mutlak dan La ta’ayyun.
d. Manusia,
yaitu tingkat penjelmaan yang paling penuh dan sempurna dari dzat yang mutlak.
e. Kelepasan,
yaitu aliran/pancaran langsung dari dzat yang mutlak.[13]
D.
PENGARUH
DAN PENGAMALAN TASAWUF DI INDONESIA
Beberapa orang tokoh di Indonesia,
uraian ringkas itu telah menggambarkan paham dan usaha-usaha di masa lalu di
dalam berbagai lapangan dan keahlian masing-masing dan semuanya ini tentu saja
akan meninggalkan kesan dan pengaruh, baik secara langsung maupun sementara
dalam waktu yang relatif singkat.
Ajaran tasawuf pada kemudiannya adalah
berhubungan erat dengan tarikat. Di Indonesia tarikat-tarikat yang telah
berkembang dan memiliki pengaruh ialah seperti, Tarikat Qadariyah,
Naqsabandiyah, Syattariyah, Saziliyah, Khai Awatiyah dan sebagainya.
Jauh sebelum ajaran islam menyentuh
bumi Indonesia, di kalangan masyarakat sebenarnya telah tumbuh dan berkembang
sikap hidup kerohanian yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang maha
ghaib, telah bersemi, dan mendarah daging dalam diri setiap bangsa Indonesia.
Dalam keadaan dan kondisi sikap mental
seperti ini, ajaran islam pun datang bersama dengan paham tasawufnya yang
kemudian berkembang menjadi ajaran tarikat.
Sumber yang dijadikan dalam
pengembangan kesusastraan Jawa baru ini ialah kitab-kitab kuno yang diubah ke
dalam bahasa dan syair jawa baru. Unsur-unsur keislaman kemudian diubah ke
dalam bahasa alam pikiran Jawa serta di padukan dengan alam pikiran Jawa.
Masyarakat jawa mulai menyenangi tasawuf sejak masa kewalian.
Walisongo dalam usahanya mengembangkan
Islam, telah banyak menggunakan adat istiadat, tradisi, dan kebudayaan yang
berkembang di tengah masyarakat.[14]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Aliran tasawuf di Indonesia proses
tranformasi ilmu keislaman dilakukan secara “sorongan” yang kemudian
meningkat dengan cara “bandongan” dan ”wetonan”. Dari embrio
model ini kemudian bermunculan model pendidikan Islam yang dikenal dengan
pesantren dan tarekat sebagai lembaga tasawuf. Semakin kuatnya pengaruh Mazhab Syafi’i,
maka sufisme yang dipelajari di pesantren adalah tasawuf Sunni yang
bersumber dari tasawuf Al-Ghazali.
Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia
yaituHamzah Al-Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdur Rauf As-Sinkili, Syekh
Yusuf Al-Makasari. Dan kemudian dalam pengaruh dan pengalaman tasawuf di
Indonesia, Beberapa orang tokoh di Indonesia, uraian ringkas itu telah
menggambarkan paham dan usaha-usaha di masa lalu di dalam berbagai lapangan dan
keahlian masing-masing dan semuanya ini tentu saja akan meninggalkan kesan dan
pengaruh, baik secara langsung maupun sementara dalam waktu yang relatif
singkat.
Ajaran tasawuf pada kemudiannya adalah
berhubungan erat dengan tarikat. Di Indonesia tarikat-tarikat yang telah
berkembang dan memiliki pengaruh ialah seperti, Tarikat Qadariyah,
Naqsabandiyah, Syattariyah, Saziliyah, Khai Awatiyah dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihan. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Bangun,
Ahmad. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Rajawali Pers.
____________ dan Rayani Hanum. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Ni’am,
Syamsul. 2014. Tasawuf Studies/Pengantar
Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 60.
[2]Syamsul Ni’am, Tasawuf Studies/Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014), hal. 114.
[3]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 61.
[4]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hal. 339.
[5]Ahmad Bangun dan Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2015), hal.62-63.
[6]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 63.
[7]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 65.
[8]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hal. 345.
[9]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 67.
[10]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hal. 348
[11]Ahmad Bangun dan Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2015), hal. 67-68.
[12]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 68.
[13]Ahmad Bangun dan Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2015), hal. 68.
[14]Ahmad Bangun, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hal. 71.
Semangat.. 🙂 semoga ilmu agamanya bermanfaat utk org banyak
ReplyDelete