KONSEP KEBUTUHAN DALAM EKONOMI SYARIAH



MAKALAH
EKONOMI MIKRO ISLAM









KONSEP KEBUTUHAN DALAM EKONOMI SYARIAH

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt  yang telah memberikan rahmat, nikmat serta karunia-Nya kepada kami, karena atas kehendak-Nya pula kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Judul dari makalah ini adalah “Konsep Kebutuhan dalam Ekonomi Islam”. Adapun isi dari makalah ini adalah tentang pengertian kebutuhan, konsep kebutuhan dalam islam, perbedaan maslahah dan utility, konsep pemilihan dalam konsumsi, pengalokasian sumber daya untuk kebutuhan. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat, sehingga dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini dari awal sampai akhir. Dan semoga Allah swt senantiasa selalu meridho’i segala usaha kita.

Binjai, September 2019

Pemakalah



DAFTAR  ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.      Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
QAWAID FIQHIYYAH DALAM MAHZAB SYAFI’IAH & HANAFIAH
A.  Konsep Kebutuhan dalam Ekonomi Islam
1.     Dlaruriyah (Primer)
2.   Hajiyah (Sekunder)
3.    Tahsiniyah (Tersier/pelengkap)
B.   Perbedaan Maslahah dan Utility
C.   Konsep Pemilihan dalam Konsumsi
D.  Pengalokasian Sumber Daya untuk Kebutuhan
Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan. Konsumsi merupakan kegiatan ekonomi yang penting. Produksi-konsumsi-distribusi merupakan tiga mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi dan kegiatan distribusi muncul karena ada gap antara konsumsi dan produksi. Dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang bersifat individualis sehingga seringkali mengakibatkan keseimbangan dan keharmonisan social.
Adapun dalam perspektif islam, kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah. Maslahah adalah segala sesuatu yang memberikan manfaat baik untuk didunia maupun diakhirat.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini, yaitu sebagai berikut:
1.     Apa yang dimaksud dengan kebutuhan?
2.   Bagaimana konsep kebutuhan dalam islam?
3.    Apa perbedaan maslahah dengan utilitas?
4.   Bagaimana konsep pemilihan dalam konsumsi?
5.    Bagaimana pengalokasian sumber daya untuk memenuhi kebutuhan?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini antara lain guna menjawab segala rumusan masalah yang ada. Diharapkan makalah ini dapat membantu pemahaman mengenai konsep kebutuhan dalam islam, perbedaan maslahah dengan utilitas, konsep pemilihan dalam konsumsi, serta pengalokasian sumber daya untuk memenuhi kebutuhan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    KONSEP KEBUTUHAN DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam ekonomi konvensional, kebutuhan dan keinginan merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Dimana setiap individu mempunyai suatu kebutuhan yang akan diterjemahkan oleh keinginan-keinginan mereka.
Dalam perspektif islam, kebutuhan ditentukan oleh maslahah. Pembahasan konsep kebutuhan dalam islam tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka maqashid al-syari’ah. Dimana tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam islam. Menurut Imam Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusiauntuk mendapatkan sesuatu yang diperlukannya dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Lebih jauh lagi, al-Gazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi, sehingga tidak kosong dari makna ibadah. Konsumsi dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional, yang tidak memisahkan antara keinginan (wants), dan kebutuhan (needs), sehingga memicu terjebaknya konsumen dalam lingkaran konsumerisme, karena manusia banyak yang memaksakan keinginan mereka, seiring dengan beragamnya varian produk dan jasa.[1]
Dalam ekonomi Islam kebutuhan manusia (Maqshid) terdiri dari tiga jenjang, yaitu:
1.     Dlaruriyah (Primer).
Dlaruriyah adalah penegakan kemaslahatan agama dan dunia. Artinya, ketika dlaruriyah itu hilang maka kemaslahata dunia dan bahkan akhirat juga akan hilang.[2] Kebutuhan dlaruriyah juga merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi dan dipelihara jika tidak dapat terpenuhi, justru akan mengancam kehidupan manusia.
Kebutuhan dlaruriyah terdiri dari:
a.    Ad-din, yakni pemenuhan kebutuhan agama seperti ibadah.
b.   Al-nafs, yakni pemenuhan kebutuhan diri/jiwa seperti makan.
c.    Al-aql, yakni pemenuhan kebutuhan akal seperti menuntut ilmu.
d.    Al-nasl, yakni pemenuhan kebutuhan akan berumah tangga seperti menikah.
e.    Al-mal, yakni pemenuhan kebutan akan harta benda.[3]
Kelima kebutuhan dlaruriyah ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila ada satu jenis kebutuhan yang diabaikan atau tidak terpenuhi, akan menimbulkan kepincangan dalam kehidupan manusia. Dan apabila kelima hal diatas dapat terwujud, maka akan tercapai suatu kehidupan yang mulia dan sejahtera di dunia dan di akhirat, atau dalam ekonomi islam biasa dikenal dengan falah.[4]

2.   Hajiyah (Sekunder).
Sementara itu, tahapan kedua dari maqashid al-syari’ah  adalah hajiyah yang didefinisikan sebagai “hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat menyebabkan bahaya dan ancaman, yaitu jika sesuatu yang mestinya ada menjadi tidak ada”. Dapat ditambahkan, “bahaya yang muncul jika hajiyah tidak ada tidak akan menimpa seseorang, dan kerukana yng diakibatkan tidak mengganggu kemaslahatan umum”.[5]
Kebutuhan yang bersifat hajiyah, juga dikatakan kebutuhan yang bersifat pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi kebutuhan yg bersifat hajiyah, seperti melanjutkan pendidikan sampai kejenjang perguruan tinggi. Jika kebutuhan hajiyah ini tidak terpenuhi, kehidupan manusia tidak terancam apabila kebutuhan yang bersifat dlaruriyah telah terpenuhi dengan baik.[6]

3.    Tahsiniyah (Tersier/pelengkap)
Tahapan terakhir maqashid al-syari’ah. Seseorang ketika menginjak keadaan tahsiniyat berarti telah mencapai keadaan, dimana ia bisa memenuhi suatu kebutuhan yang bisa meningkatkan kepuasan dalam hidupnya. Meskipun kemungkinan besar tidak menambah efensiensi, efektivitas, dan nilai tambah bagi aktivitas manusia. Tahsiniyah juga biasa dikenali dengan kebutuhan tersier, atau identik dengan kebutuhan yang bersifat mendekati kemewahan.[7]
Sama halnya dengan kebutuhan hajiyah jika kebutuhan tahsiniyah tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak akan terancam karena kebutuhan tahsiniyah hanya berfungsi menambah keindahan dan kesenangan hidup manusia.[8]

B.     PERBEDAAN MASLAHAH DAN UTILITY
1.     Maslahah
Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat. Konsep maslahah ini diderivasikan dari konsep maqashid syari’ah yang berujung pada masalih al-‘ibad (kemaslahatan hamba/manusia).[9]
Menurut Imam Shatibi  istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling utama.

2.   Utility
Secara bahasa, utility berarti berguna  (usefulness), membantu  (helpness), atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari kesulitan karena mengkonsumsi suatu barang. Karena rasa inilah utilitas sering diartikan juga sebagai kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.[10]

3.    Perbedaan Maslahah dan Utility
a.    Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need), sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
b.   Utility atau kepuasan bersifat individualis, maslahah tidak hanya bisa dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompok masyarakat.
c.    Maslahah relatif lebih obyektif karena didasarkan pada pertimbangan yang obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.
d.    Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas individu sering berseberangan dengan utilitas sosial.
e.    Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi konvensional, konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya.
f.     Dalam konteks perilaku monsumen, utility diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa, sedangkan maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas.

C.    KONSEP PEMILIHAN DALAM KONSUMSI
Dalam ekonomi konvensional, pada dasarnya satu jenis benda ekonomi merupakan subtitusi sempurna bagi subtitusi benda lainnya sepanjang memberikan utilitas yang sama. Akibatnya, anggaran akan di alokasikan untuk mengonsumsi benda-benda apa saja sepanjang utilitasnya maksimum. Hal ini disebabkan, karena tidak ada benda lain yang lebih berharga dari pada benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tigkat kepuasan yang diperoleh akibat mengonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda yang memberikan utilitas yang lebih tinggi menjadi lebih berharga di bandingkan yang memberikan utilitas yang lebih rendah.
Ekonomi islam berpandang bahwa antara benda yang satu dengan yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda tersebut akan diutamakan di bandingkan konsumsi lainnya. Di samping itu, terdapat prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.[11]
Adapun preferensi konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan manusia memiliki pola sebagai berikut:
1.Mengutamakan akhirat
Pada tataran paling dasar, seorang konsumen muslim akan dihadapkan pada pilihan antara mengonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi belaka (wordly consumption), dan benda yang bersifat ibadah. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dibandingkan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan subtitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah lebih memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi daripada konsumsi untuk duniawi dikarenakan orientasinya adalah mencapai falah sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, konsumsi untuk ibadah pada hakikatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah, semakin tinggi falah yang di capai. Demikian sebaliknya, semakin besar konsumsi untuk duniawi, maka semakin rendah falah yang di capainya

2.      Konsisten dalam prioritas pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat prioritas-prioritas diantara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaattan dalam pemenuhannya. Asy-syatibi membagi prioritas kemaslahatan tersebut pada tingkatan, maslahah dharuryyah, maslahah hajyyah dan maslahah tahsinyyah.

3.      Memperhatikan etika dan norma
Syariat islam memiliki etika dan norma dalam konsumsi islam yang bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah. Beberapa etika diantara lain keadilan, kebersihan, kesederhanaan, halalan tayyiban, dan keseimbangan.[12]

D.    PENGALOKASIAN SUMBER DAYA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN.
Pada dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan meskipun manusia memeknai kesejahteraan dengan perspektif yang berbede. Sebagian besar paham ekonomi memakai kesejahteraan material duniawi. Dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan manusia menghadapi masalah, yaitu kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumber daya  yang memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Dalam upaya mencapai kesejahteraan manusia menghadapi masalah, yaitu kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumber daya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia, keterbatasan manusia, serta munculnya konflik antara tujuan duniawi dan akhirat menyebabkan terjadinya kelangkaan relative.
Keterbatasan manusia menyebabkan banyak hal terasa langka. Kelangkaan mencakupi kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan langka jika jumlah (kuantitas) yang tersedia sesuai dengan kebutuhan berkualitas baik, tersedia di mana saja dan kapan saja di butuhkan.
Mengingat sunber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus member manfaat pada manusia yang diantaranya, sumber daya alam, sumber daya modal, dan sumber daya manusia.
Imam Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “janganlah kesejahteraan salah seorang di antara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of goods yaitu alokasi barang-barang dikatakan efisien bila tidak seorangpun dapat meningkatkan utilitynya tanpa mengurangi utility orang lain.
Efisien alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua daya ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apapun perihal teralokasi, tersebut adil. Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah “tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Bisa jadi “sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan islam karena tidak memberikan intensif bagi orang yang berkerja keras.
Untuk itu pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar alokasi sumber daya ekonomi dilaksanakan secara efisien. Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan  agar kekayaan terdistribusi secara baik dalam masyarakat, misalnya melalui perpajakan, subsidi, pengentasan kemiskinan, transfer penghasilan dari daerah kayak e daerah miskin, bantuan pendidikan, bantuan kesehatan dan lain-lain.
Ekonomi islam mazhab mainstream menggunakan definisi yang sama dengan definisi ekonomi neoklasik, di mana persoalan efisien diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisien dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Dalam penjelasan mengenai teori alokasi dapat dianalisais bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokuskan pada masalah pengalokasian sumber daya engan adanya campur tangan emerintah agar alokasi sumber daya dapat terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus member manfaat bagi manusia.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan.
Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah  mengandung pengertian kemanfaatan dunia dan akhirat. Utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need), sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
Teori alokasi dapat di analisis bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokus pada masalah pengalokasian sumber daya dengan adanya campur tangan pemerintah agar alokasi sumber daya dapat terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia.







DAFTAR PUSTAKA

Fauzia, Ika Yunita dan Abdul Kadir Riyadi. Prinsip Dasar Ekonomi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014
Rahmawaty, Anita. Ekonomi Mikro Islam. Kudus: Media Enterprise. 2011
Rozalinda. Ekonomi Islam. Depok: Rajawali Pers. 2017
Soleha, Lilis. Konsep Kebutuhan Dalam Islam. http://lilissoleha.blogspot.com/2016/11/konsep-kebutuhan-dalam-islam.html?m=1. Pada Tanggal 17 September 2019 Pukul 10:45.





[1]Ika Yunita Fauziah dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014), hal. 162-163.
[2]Ibid., hal. 66.
[3]Rozalinda, Ekonomi Islam, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hal. 106.
[4]Ika Yunita Fauziah dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014), hal. 67.
[5]Ibid., hal. 68.
[6]Rozalinda, Ekonomi Islam, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hal. 106.
[7]Ika Yunita Fauziah dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014), hal. 68.
[8]Rozalinda, Ekonomi Islam, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hal. 106-107.
[9]Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), hal. 65
[10]Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), hal. 69.
[11]Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), hal. 76.
[12]Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), hal. 77-78.

Comments

Popular posts from this blog

SYAR'U MAN QABLANA

ULUMUL HADIST : Sanad, Matan, dan Rawi Hadist

MAKALAH TEORI KONSUMSI : INDIFFERENT CURVE

HADIST-HADIST EKO. TENTANG ANJURAN JUAL BELI

TASAWUF DI INDONESIA

AKAD DAN KHIYAR

ISLAMIC BANKING

FIQH MUNAKAHAT_

MANAJEMEN ORGANISASI