SYAR'U MAN QABLANA


Makalah Ushul Fiqh 
 
SYAR’U MAN QABLANA


DISUSUN OLEH
TARICHA PUTRI NABILA  
 
DOSEN PENGAMPUH :
ARIE BASTIAN HADINATA, S.Pd.I, M.Pd.I
  


DAFTAR  ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
B.  Rumusan Masalah
C.  Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.  SYAR’U MAN QABLANA
1.    Pengertian Syar’u Man Qablana
2.    Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana
3.    Kehujjahan Syar’u Man Qablana
4.    Macam-Macam Syar’u Man Qablana
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Ulama fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka dasarkan atasnya tidak ada lagi.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama yaitu salah satunya adalah Syar’u man qablana. Nabi Muhammad SAW adalah nabiyullah yang terjaga dari dosa baik sebelum beliau diutus menjadi rosul ataupun belum. Nabi Muhammad membawa pesan Allah yang mengenai dua hal, yaitu tentang apa-apa yang harus diimani (diyakini) dan apa-apa yang harus diamalkan. Beliau juga terpelihara dari sifat jahiliyah yang menjadi budaya dalam keseharian kaum arab. Fakta ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk dalam diri kaum muslim saat ini. Bila beliau adalah insan yang taat beribadah, hamba Allah yang mulia maka siapakah yang ia teladani dalam hal ini? Siapakah atau syari’at apa yang menjadi pedoman dalam keseharian beliau sebelum beliau diutus menjadi Rasulullah SAW? Lantas apakah syariat-syariat tersebut harus kita jalankan? Padahal kita umat muslim telah memiliki syariat sendiri yang disebarkan oleh ajaran Rasulullah SAW yaitu syariat Islam.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini, yaitu sebagai berikut:
1.    Apakah pengertian dari Syar’u Man Qablana?
2.    Bagaimana pendapat para ulama terhadap Syar’u Man Qablana?
3.    Bagaimana kehujjahan Syar’u Man Qablana?
4.    Apa saja macam-macam Syar’u Man Qablana?

C.      TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini antara lain guna menjawab segala rumusan masalah yang ada. Diharapkan makalah ini dapat membantu pemahaman mengenai sumber dan dalil hukum Islam yang masih diperselisihkan, yaitu Syar’u Man Qablana, mulai dari pengertian, pendapat para ulama, dan kehujjahan Syar’u Man Qablana, serta macam-macam Syar’u Man Qablana.




BAB II
PEMBAHASAN


A.      SYAR’U MAN QABLANA
1.    Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana berasal dari kata Syara’a dan Qablana. Kata  Syar’u/syir’ah yang berarti harfiahnya syariat merupakan kata jadian dari asal kata Syara’a, pada dasarnya berarti sebuah aliran air, namun dapat berarti pula sebuah agama, hukum syari’at. Sedangkan Qablana berarti sebelum Islam, yaitu syariat-syariat yang diturunkan Allah SWT kepada nabi-nabi yang diutus sebelum Nabi  Muhammad SAW.[1]
Syar’u Man Qablana merupakan syari’at atau ajaran-ajaran Nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.[2] Yang di maksud Syar’u Man Qablana ialah syari’at yang di turunkan kepada orang orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya islam. Pada hakikatnya semua syariat samawiyah termasuk syariat umat sebelum kita itu memiliki kesamaan yaitu di turunkan oleh Allah.
Secara istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang menghapusnya.
Para ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa seluruh syariat yang diturunkan Allah sebelum islam melalui Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syariat islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syariat-syariat sebelum islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syariat sebelum islam yang masih berlaku dalam syariat islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qisas, dan hukuman bagi tindak pidana pencurian.[3]

2.      Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syari’at kita jika Al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita untuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh (di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syari’at Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah.
Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak  diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
a. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
b. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at Nabi Muhammad.
c. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan inji.

3.      Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Macam-macam syar’u man qablana antara lain:
a. Ajaran yang telah dihapuskan oleh syariat Rasulullah Saw (di mansyukh).
Menurut Syari’at Nabi Musa As seseorang yang telah berbuat dosa apabila ingin bertobat harus membunuh dirinya. Pakaian yang terkena najis tidak dapat menjadi suci, kecuali dipotong bagian yang terkena najis itu. Mengenai masalah itu, para ulama sepakat tidak mengamalkannya karena syariat kita telah mengaturnya.
b.  Ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
Contohnya perintah menjalankan puasa dimana para ulama berpendapat bahwa kita wajib mengamalkan karena syariat telah mengaturnya sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, dalam firman Allah Swt:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S Al-Baqarah : 183).[4]
Ajaran yang ditetapkan oleh syariat Rasulullah Saw, dibagi 2 macam yaitu:
1)   Ajaran yang diberitahukan kepada kita, baik melalui Al-Qur’an atau Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan sebagaimana diwajibkan  kepada umat sebelum kita. Contohnya, firman Allah Swt:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Q.S Al-Maidah:45)
Mayoritas ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa syari’at yang ditetapkan untuk Bani Israil juga berlaku bagi umat islam karena tidak ada dalil yang menasakh (menghapus). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa syari’at sebelum kita tidak berlaku karena sifat syari’at kita menghapus syariat-syariat sebelumnya. Syari’at Bani Israil hanya untuk mereka, sedangkan syari’at umat Islam untuk seluruh umat manusia.
2)   Ajaran yang tidak disebut-sebut (direncanakan) oleh syari’at Rasulullah Saw.[5] Para ulama berbeda pendapat bahwa umat islam tidak wajib mengamalkan syari’at sebelum kita dan yang tidak disebut-sebut oleh syariat kita.



BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Syar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Terdapat beberapa ulama yang dengan tegas mengatakan bahwa syari’at-syari’at yang telah disyari’atkan pada umat-umat terdahulu telah di mansukh dalam segala bentuknya. Namun sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa tidak semua syari’at-syari’at itu di nasakh dan berlaku sampai sekarang,seperti kewajiban beriman kepada Allah swt, melarang kekafiran, mengharamkan zina, pencurian, dan pembunuhan.
Kehujjahan syar’u man qablana yaitu hukum-hukum syariat sebelum islam tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum islam. Karena sekalipun ulama menerimanya menetapkan suatu hukum syar’a namun mereka tetap mengatakan hukum-hukum itu harus terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, sebagai sumber utama hukum islam. Apabila ada nashnya dalam Al-Qur’an atau dalam Sunnah Rasulullah, maka secara otomatis hukum-hukum itu wajib dilaksanakan oleh umat islam.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. Dan M. Zein. 2009. Ushul Fiqh. (Cetakan ke-6). Jakarta: Kencana
Djazuli, H. A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Prenadamedia group.
Fathurrohman, Muhammad. Memahami Syar’u Man Qablana. 02 Desember 2018. http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/14/memahami-syaru-man-qablana/.
Kusumaastuti, Mawar. Fiqih Syar’u Man Qablana. 02 Desember 2018. http://www.academia.edu/12734960/FIQH_Syar_u_Man_Qablana.
Uman, Chaerul. Dkk. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia.


[1]Muhammad Fathurrohman, Memahami Syar’u Man Qablana, Muhfathurrohman, diakses dari http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/14/memahami-syaru-man-qablana/. Pada tanggal 02 Desember 2018 Pukul 13:55.
[2]Satria Efendi, dan M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. 6, hlm. 162-163.
[3]Chaerul Uman, Dkk. Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 159.
[4]Mawar Kusumaastuti, FiQH Syar’u Man Qablana, academia.edu, diakses dari http://www.academia.edu/12734960/FIQH_Syar_u_Man_Qablana. Pada tanggal 02 Desember 2018 Pukul 14.02.
[5]A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia group, 2005), hlm. 96.

Comments

Popular posts from this blog

ULUMUL HADIST : Sanad, Matan, dan Rawi Hadist

MAKALAH TEORI KONSUMSI : INDIFFERENT CURVE

HADIST-HADIST EKO. TENTANG ANJURAN JUAL BELI

TASAWUF DI INDONESIA

AKAD DAN KHIYAR

ISLAMIC BANKING

FIQH MUNAKAHAT_

KONSEP KEBUTUHAN DALAM EKONOMI SYARIAH

MANAJEMEN ORGANISASI