AKAD DAN KHIYAR
MAKALAH
FIQH
MUAMALAH
AKAD
DAN KHIYAR
A.
AKAD
1.
Pengertian
Akad
Perikatan atau perjanjian, ataupun
transaksi-transaksi lainya dalam konteks fiqih muamalah dapat disebut dengan
akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-‘aqd
bentuk jamaknya al-‘uqud yang
mempunyai arti perjanjian, persetujuan kedua belah pihak atau lebih dan
perikatan.
Adapun secara terminology ulama fiqh
melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan secara khusus.
a.
Secara umum
Pengertian
akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa
menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu :
كُلُّ مَا عَزَمَ المَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ
سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَاْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ
واليَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي إِنْشَائِهِ كَلْبَيْعِ
وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”[1]
Selain itu ada juga
yang mengatakan bahwa akad adalah “Setiap
yang diinginkan manusia untuk mengerjakanya, baik keinginan tersebut berasal
dari kehendaknya sendiri, misalnya daam hal wakaf, atau kehendak tersebut
timbul dari dua orang misalnya dalam hal jual beli atau ijaroh.”
Sehingga secara umum
akad adalah segala yang diinginkan dan dilakukan oleh kehendak sendiri, atau
kehendak dua orang atau lebih yang mengakibatkan berubahnya status hukum objek
akad (maqud alaih).
b. Secara
Khusus
Pengertian
akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah
إِرْتَبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلىَ وَجْهٍ
مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ.
Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan
syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Melihat dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai
dengan sebuah ijab dan qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian
ijab dan qobul adalah sutu bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab
qobul adalah tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat
dikatakan sah apabila sudah sesuai dengan syara’. akad dikatakan sah apabila
memenuhi semua syarat dan rukunya. Yang akibatnya transaksi dan objek transaksi
yang dilakukan menjadi halal hukumnya.
2. Rukun Akad
Rukun-Rukun Akad
sebagai berikut:
a.
‘Aqid, adalah orang yang
berakad (subjek akad)
b. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan
diakadkan (objek akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli,
dalam akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang.
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
1) Obyek transaksi harus
ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
2) Obyek transaksi harus
berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan)
dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
3) Obyek transaksi bisa
diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
4) Adanya kejelasan
tentang obyek transaksi.
5) Obyek transaksi harus
suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
c.
Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau
maksud mengadakan akad.
d.
Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul.
Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak
yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk
menerimanya.
Dalam ijab kabul
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai
berikut:
1) Adanya kejelasan
maksud antara kedua belah pihak.
2) Adanya kesesuaian
antara ijab dan Kabul
3) Adanya satu majlis
akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukan
penolakan dan pembatalan dari keduanya.
4) Menggambarkan
kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan
tidak karena di ancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah
(jual beli) harus saling merelakan.[2]
Ijab kabul akan
dinyatakan batal apabila :
1) Penjual menarik
kembali ucapannya sebelum terdapat kabul dari si pembeli.
2) Adanya penolakan ijab
dari si pembeli.
3) Berakhirnya majlis
akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari
majlis akad. Ijab dan kabul dianggap batal.
Mengucapkan dengan
lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada
juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh
menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad yaitu:
1) Dengan cara tulisan
(kitabah), misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan
kitabah. Atas dasar inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan
ucapan”.
2) Isyarat. Bagi
orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan,
misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa,
orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan
tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan
ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad
dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi
orang bisu sama dengan ucapan lidah”.[3]
3. Pembagian Akad
Pembagian akad
dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda,
yaitu:
a.
Berdasarkan
ketentuan syara’
1) Akad shahih
akad shahih adalah akad yang memenuhi
unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’.
2)
Akad
tidak shahih
adalah akad yang tidak memenuhi unsur
dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian,
akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah.
b. Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah:
1) akad musamah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya,
seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
2) Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan
hukumnya.
c.
Berdasarkan zat benda
yang diakadkan :
1) benda yang berwujud
2) benda tidak berwujud.
d.
Berdasarkan adanya
unsur lain didalamnya :
1) Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad.
Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang
disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan
adanya akad.
2) Akad mu’alaq adalah akad yand didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang
diakadkan setelah adanya pembayaran.
3) Akad mu’alaq ialah akad yang didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai
penanggulangan pelaksaan akad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga
waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi
belum mempunyai akibat hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.
e.
Berdasarkan
disyariatkan atau tidaknya akad :
1) Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan syara’ seperti gadai dan jual beli.
2) Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak kambing dalam
perut ibunya.
f.
Berdasarkan sifat
benda yang menjadi objek dalam akad :
1) akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
2) Akad ghair
‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan
barang-barang karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
g.
Berdasarkan cara
melakukannya:
1) Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad
pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
2) Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi
karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
h.
Berdasarkan
berlaku atau tidaknya akad :
1) Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari
penghalang-penghalang akad
2) Akad mauqufah, yaitu akad –akad yang bertalian dengan
persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah
disetujui pemilik harta)[4]
i.
Berdasarkan luzum
dan dapat dibatalkan :
1) Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan
seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa
dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan
dengan cara yang dibenarkan syara’
2) Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat
dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
3) Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan
salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang
yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang
yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa
harus menunggu persetujuan darinya.
j.
Berdasarkan tukar
menukar hak :
1) Akad mu’awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti
akad jual beli
2) Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan
pertolongan seperti akad hibah.
3) Akad yang tabaru’at pada awalnya namun menjadi akad mu’awadhah pada
akhirnya seperti akad qarad dan kafalah
k.
Berdasarkan harus
ganti tidaknya :
1) Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah
benda-benda akad diterima seperti qarad.
2) Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan
oleh yang memegang benda, seperti titipan.
3) Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman
dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
l.
Berdasarkan tujuan
akad :
1. tamlik: seperti jual beli
2. mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
3. tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
4. menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
5. mengadakan pemeliharaan seperti ida’ atau titipan
m. Berdasarkan faur dan istimrar:
1) Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama,
pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
2) Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti
I’arah
n.
Berdasarkan
asliyah dan tabi’iyah :
1) akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya
sesuatu yang lain seperti jual beli dan I’arah.
2) Akad tahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad
rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang. [5]
4. Macam-macam Akad
terbagilah akad kepada :
a.
‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad
yang diberikan namanya oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum
tertentu.
b. ‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya
secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh syara’
sendiri.
Macam-macam akad
dalam transaksi lembaga keuangan syariah:
a.
Tabungan/penghimpun dana (Funding), seperti:
1)
Wadi’ah artinya Titipan, dalam terminologi, artinya menitipkan
barang kepada orang lain tanpa ada upah. Jika Bank meminta imbalan (ujrah)
atau mensyaratkan upah, maka akad berubah menjadi ijaroh. Pada bank
Syariah seperti Giro berdasarkan prinsif wadi’ah
2)
Mudharobah adalah Kerja sama antara dua
pihak di mana yang satu sebagai penyandang dana (shohib al-maal)
dan yang kedua sebagai pengusaha (mudhorib) sementara keuntungan dibagi bersama
sesuai nisbah yang disepakati dan kerugian finansial ditanggung pihak
penyandang dana.[7]
Dalam bank syariah seperti Tabungan maunpun Deposito berdasarkan prinsip mudharobah.
b. Pembiayaan/Penyaluran
dana (Financing), pembiayaan ini dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
1) berbasis jual beli (al-
bay)
seperti: Murabahah adalah
jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Salam adalah pembelian
barang yang diserahkan di kemudian hari, sementara pembayarannya dilakukan di
muka. Istishna, adalah
merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam yang merupakan akad
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam akad ini pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli, pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain
untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir
2) Berbasis bagi hasil (syirkah) seperti:
Mudharobah, adalah akad
antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib)
untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Musyarokah, adalah
perjanjian (akad) antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu, yaitu
masing-masing pihak akan memberikan kontribusi berdasarkan kesepakatan,
misalnya : kalau adaa keuntungan atau kerugian masing-masing pihak mendapat
margin dan menangung risiko bersama.
3) Berbasis Sewa Menyewa, seperti: Ijarah adalah, pembiayaan berupa
talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki suatu barang/jasa dengan
kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan akad. Atau kata istilah lain akad untuk mendapatkan manfaat dengan
pembayaran, Aplikasinya dalam perbankan berupa leasing. Ijarah Muntahiiyah Bit-Tamlik, adalah
akad sewa menyewa barang antara bank dengan penyewa yang diikuti janji bahwa
pada saat ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada penyewa,
ringkasnya adalah Sewa yang berakhir dengan kepemilikan.
4) Berbasis Upah/Jasa
Pelayanan,
seperti Kafalah
adalah yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul
‘anhu, ashil). Wakalah yaitu
pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Hiwalah yaitu
akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang
wajib menanggung (membayar)-nya. Rahn
(gadai) yaitu
adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diberikan oleh si piutang, perbedaan gadai syariah dengan
kpnvensional adalah hal pengenaan bunga. Gadai Syariah menerapkan beberapa
sistem pembiayaan, antara lain qardhun hasan (pinjaman kebajikan), mudharobah
( bagi hasil) dan muqayyadah ( jual beli). Jualah, yaitu jasa pelayanan
pesanan/permintaan tertentu dari nasabah, misalnya untuk pemesanan tiket
pesawat atau barang dengan menggunakan kartu debit/cek/transfer. Atas jasa
pelayanan ini bank memperoleh fee.[6]
5.
Berakhirnya Akad
a.
Berakhirnya
masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
b. Dibatalkan oleh
pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
c.
Dalam
akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
1) Jual beli itu fasad,
seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak
terpenuhi.
2) Berlakunya khiyar
syarat, aib, atau rukyat.
3) Akad itu tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak
4) Tercapainya tujuan
akad itu sampai sempurna.
d.
Salah
satu pihak yang berakad meninggal dunia.[7]
B.
KHIYAR
1.
Pengertian Khiyar
Kata
al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar
dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam
bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua
belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan
dalam transaksi.
Secara
terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ
الْعَقْدِ وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ.
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan
transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai
dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi”.8
Sedangkan
pengertian khiyar menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal
20 (8) adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau
membatalkan akad jual beli yang dilakukannya.
2.
Syarat Kiyar
syarat khiyar adalah :
a.
Muta’akidaini
b. Dalam satu tempat
c.
Waktunya
tiga hari
d. Barang belum
sepenuhnya menjadi milik pembeli
3.
Macam-macam Khiyar
a.
Khiyar
Majlis
Ialah hak pilih bagi
kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih
berada dalam majlis akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi
baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah
berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan
untuk menjual dan atau membeli.[8]
b. Khiyar Ta’yin
Khiyar ta’yin ialah
hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual
beli. Sebagai contoh adalah dalam pembelian kramik, misalnya ada yang
berkualitas super (KW1) dan sedang (KW2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui
secara pasti mana keramik yang super dan mana kramik yang berkualitas sedang.
Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan pakar keramik dan arsitek.
Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah adalah boleh. Dengan alasan bahwa
produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak
diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan pakar. Agar
pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya,
maka khiyar ta’yin dibolehkan[9]
c.
Khiyar
Syarat
Yaitu hak pilih yang
ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang
lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggangan
waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari
engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan
akad selama satu minggu."
Para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa khiyar syarat ini dibolehkan dengan tujuan untuk
memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak
penjual. Sedangkan khiyar syarat menentukan bahwa baik barang maupun
nilai/harga barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah tenggang waktu
khiyar yang disepakati itu selesai.[10]
d. Khiyar ‘Aib
Khiyar ‘Aib (cacat)
menurut ulama fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad
memilih hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib
(kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak
diketahui pemilikannya waktu akad.
Penyebab khiyar aib
adalah adanya cacat pada barang yang dijual belikan (ma’qul alaih) atau
harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud,
atau orang yang dalam akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.[11]
e. Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah ialah
hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat
obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau
sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah
terjadi perubahan atasanya.
f.
Khiyar
Naqd (Pembayaran)
Khiyar naqd tersebut terjadi apabila
dua pihak melakukan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak
melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas
waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan atau
tetap melangsungkan akad.[12]
KESIMPULAN
Akad mempunyai
arti perjanjian, persetujuan kedua belah pihak atau lebih dan perikatan.
Rukun-Rukun Akad antara lain ‘Aqid, Ma’qud ‘alaih, Maudhu’ al-‘aqd, dan Shighat
al-‘aqd. Pembagian akad berdasarkan ketentuan syara’, berdasarkan ada dan tidak adanya qismah,
berdasarkan zat benda yang diakadkan, berdasarkan adanya unsur lain didalamnya,
berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad, berdasarkan sifat benda yang menjadi
objek dalam akad, berdasarkan cara melakukannya, berdasarkan berlaku atau
tidaknya akad, berdasarkan luzum dan dapat, berdasarkan tukar menukar hak,
berdasarkan harus ganti tidaknya, berdasarkan faur dan istimrar, berdasarkan
asliyah dan tabi’iyah. Secara
garis besar macam-macam akad yaitu: ‘Uqudun musammatun dan ‘Uqudun ghairu
musammah. Berakhirnya suatu akad dapat dikarenakakan beberapa hal diantaranya
ialah: Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang
waktu, Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya
tidak mengikat, Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
Khiyar
adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan
transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai
dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Syarat Khiyar
antara lain: Muta’akidaini, dalam satu tempat, waktunya tiga hari, barang belum
sepenuhnya menjadi milik pembeli. Macam-macam Khiyar: Khiyar Majlis, Khiyar
Ta’yin, Khiyar Syarat, Khiyar ‘Aib, Khiyar Ru’yah, Khiyar Naqd (Pembayaran).
DAFTAR PUSTAKA
Ardi, Jumiardi. Akad Kedudukan dan Fungsi Akad. http://juminardi-ardi.blogspot.co.id/2012/09/akad-kedudukan-dan-fungsi-akad.html. Pada tanggal 22
September 2019. Pukul 19:15 WIB.
Ash
Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Fiqh
Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang. 1997.
______________ . Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang: PT. Pustaka Putra.
2009.
Djuwaini,
Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta:
Pustaka Kencana. 2010.
Huda,
Qamarul. Fiqh Mu’amalah. Yogyakarta: Teras. 2011.
Norhadi.
Macam-Macam Akad. http://pa-sampit.go.id/macam-macam-akad/.
Pada tanggal 23 September 2019. Pukul 11.35 WIB.
Rahman
Ghazaly, Abdul. Fiqh Muamalat. Jakarta:
Kencana. 2010.
Syafe’I,
Rahmad. Fiqih Muamala, Bandung:
Pustaka Setia. 2001.
[1]Rafmad Syafe’I, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), hal. 44.
[2]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Kencana, 2010), hal. 51.
[3]Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1997), hal. 30.
[4]Jumiardi Ardi, Akad Kedudukan dan Fungsi Akad, dikses di http://juminardi-ardi.blogspot.co.id/2012/09/akad-kedudukan-dan-fungsi-akad.html, pada tanggal 22 September 2019
pada pukul 19:15 wib.
[5]Jumiardi Ardi, Akad Kedudukan dan Fungsi Akad, dikses di http://juminardi-ardi.blogspot.co.id/2012/09/akad-kedudukan-dan-fungsi-akad.html, pada tanggal 22 September 2019
pada pukul 19:15 wib.
[6]Norhadi, Macam-Macam Akad,diakses dari http://pa-sampit.go.id/macam-macam-akad/. Pada tanggal 23 September 2019,
pukul 11.35.
[7]Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010),
hal. 58-59.
[11]Rachmat Syafe’i, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 116..
[12]Qomarul Huda, Fiqh
Mu’amalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 46.
Comments
Post a Comment