FIQH MUNAKAHAT_

MUNAKAHAT
                 









 DOSEN PENGAMPUH: Dr. H. M. JAMIL, M.A.




DAFTAR  ISI

Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Munakahat
1. Hukum Melakukan Pernikahan
2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
B.Pernikahan yang di Larang
C.Wanita yang Haram untuk di Nikahi (Mahram)
1.  Mahram Muabbad
2.  Mahram Muaqqad
D.Putusnya Pernikahan dan Sebab-Sebabnya
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang universal, agama yang mencakup semua isi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satupun masalah yang tidak isentuh nilai islam, walaupun masalah tersebut tampak kecil dan sepele. Itulah islam, agama yang member rahmat bagi sekalian alam.
Allah telah menciptakan segala sesuatu yang berpasang-pasangan. Ada lelaki, ada wanita. Allah memberi karunia kepada manusia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan generasinya.
Dalam masalah perkawinan, islam telah berbicara banyak. Mulai dari bagaimana defenisi pernikahan menurut kaidah islam, hukum dalam melakukan pernikahan, rukun,hukum, dan syarat sah pernikahan, pernikahan yang dilarang oleh islam, wanita yang haram untuk dinikahi, putusnya pernikahan dan akibat dari putusnya pernikahan tersebut, dan banyak hal yang lain sebagainya. Oleh karena itu, melalui makalah ini kami ingin membahas pernikahan yang sesuai dengan syariatNya.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini, yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari pernikahan?
2. Apa hukum dalam melakukan pernikahan?
3.      Apa saja rukun, dan syarat sah pernikahan?
4. Apa saja pernikahan-pernikahan yang dilarang oleh agama Islam?
5. Siapa saja wanita yang haram untuk dinikahi?
6.      Bagaimana putusnya pernikahan dan akibat dari putusnya pernikahan?

C.      TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini antara lain guna menjawab segala rumusan masalah yang ada. Diharapkan makalah ini dapat membantu pemahaman mengenai pernikahan menurut kaidah islam, hukum dalam melakukan pernikahan, rukun, dan syarat sah pernikahan, pernikahan yang dilarang oleh islam, wanita yang haram untuk dinikahi, dan putusnya pernikahan serta akibat dari putusnya pernikahan tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN MUNAKAHAT
Kata munakahat yang terdapat dalam bahasa Arab, berasal dari kata na-ka-ha, yang terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan[1]. Munakahat atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yng Maha Esa.[2] Pernikahan dalah suatu cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Selain itu, perkawinan adalah sunatullah yang dengan sengja diciptakan oleh Allah yang tujuannya untuk melnjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya.[3] Allah SWT berfirman:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Adh-dhariyat : 49).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. [4]

1.         Hukum Melakukan Perkawinan.
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah hukum melakukan pernikahan terbagi menjadi empat, yaitu:
a.Wajib, menikah wajib hukumnya bagi seseorang yang memiliki syahwat besar dan khawatir dirinya akan terjerumus pada perzinahan, jika ia tidak segera menikah. Dengan pernikahan akan dapat menjaga kehormayannya.
b.Mustahab (dianjurkan), menikah mustahab hukumnya bagi seseorang yang berhasrat, namun tidak dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan. Meskipun demikian menikah lebih utama baginya daripada ia melakukan ibadah-ibadah sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, kecuali Imam Asy-Syafi’I Rahimallah karena menikah merupakan penyempurna setengah agama. Rasulullah SAW bersabda: “Jika seorang hamba telah menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga sisa-Nya” (HR. Thabrani).
c.Makruh, menikah makruh hukumnya bagi seorang yang belum berkeinginan untuk menikah dan ia juga belum mampu untuk menafkahi orang lain. Maka hendaknya ia mempersiapkan bekal untuk menikah terlebih dahulu.
d.Haram, menikah haram hukumnya bagi seseorang yang akan melalaikan istrinya dalam hal jima’ dan nafkah, atau karena ketidakmampuannya dalam hal tersebut.[5]

2.         Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c.    Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.[6]
Syarat sah perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Berdasarkan rukun perkawinan diatas, maka syarat sah perkawinan adalah sebagai berikut:

a.    Syarat-syarat kedua mempelai.
1)   Syarat pengantin Pria :
·      Beragama Islam
·  Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
·  
   Orangnya diketahui dan tertentu
· Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
·  Calon mempelai laki-laki tahu/ kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya
·      Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu
·      Tidak sedang melakukan ihram
·      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
·      Tidak sedang mempunyai istri empat[7].
2)   Syarat Pengantin Wanita :
·      Beragama islam
·      Terang bahwa ia wanita
·      Wanita itu tentu orangnya
·      Halal bagi calon suami
· Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah
·      Tidak dipaksa/ ikhtiyar
·  Tidak dalam keaadan ihram haji atau umrah[8].

b.    Syarat-syarat Ijab Kabul :
1)   Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan Kabul dengan lisan. Namun bagi orang bisu sh perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
2)   Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
3)   Ijab dan Kabul dilakukan di dalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang dapat merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing masing ijab dan Kabul bisa didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi
4)   Lafazh yang digunakan untuk akad nikah adalah lafazh nikah atau tazwij.[9]

c.    Syarat-syarat Wali :
1)Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya, dengan calon suami dan wakilnya.
2)Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baliqh, berakal dan ail (tidak fasik).[10]

d.   Syarat-syarat Saksi :
1)   Berakal
2)   Baliqh
3)   Merdeka, bukan budak
4)   Islam
5)   Kedua orang saksi itu mendengar.[11]

B.       PERNIKAHAN YANG DILARANG
Macam-macam pernikahan yang dilarang ialah sebagai berikut:
1. Nikah Mut’ah, merupakan pernikahan sementara yang disepakati antara dua pihak. Dapat diketahui bahwa nikah mut’ah dilarang dan demi kebaikan manusia, karena dengan ini hilanglah keturunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas untuk pemenuhan syahwat oleh laki-laki dengan merendahkan kepribadian perempuan, maka wajib keharamannya.

2.  Nikah Asy-Syighar, yaitu seorang wali yang menikahkan ke walinya seorang laki-laki dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya, baik mereka menyebutkan maharnya atau tidak. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
“Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melarang syighar, Ibnu Namir menambahkan, syighar yaitu seorang laki-laki yang mengatakan ‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan anak perempuanku’, atau ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku’”.

3.    Nikah Al-Muhallil, yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahkan kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai. Nikah semacam ini haram hukumnya an ter,asuk dalam perbuatan dosa besar, berdasarkan riwayat ibnu Mas’ud : “Rasulullah SAW melaknat Muhallil dan muhallal lahu”.[12]

4.    Nikah Al-Muhrim, adalah seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan ‘ihram untuk haji atau umrah sebelum tahallul. Hukum pernikahan ini haram, yakni mengharuskan batall. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat ‘Utsman bin Affan r.a :
“Seorang yang sedang ihram tidak diperbolehkan untuk menikah, dinikahkan, dan melamar”.

5.    Nikah Masa ‘Iddah, yaitu laki-laki menikahi perempuan yang masih ‘iddah baik karena perceraian ataupun kematian. Prnikahan ini haram hukumnya. Hal ini berdasarkn firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah Ayat 235 :
ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ
 Artinya : “Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya”.[13]

6. Nikah Tanpa Wali, yaitu laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya. Nikah ini batil karena kurangnya rukun pernikahan yaitu wali. Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nukahnya batil”.

7.  Nikah Dengan Perempuan Kafir Selain Ahli Kitab, Haram bagi seorang muslim untuk menikahi dengan kafir atau majusi baik ia menyembah api, komunisme, atau berhala. Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 221 Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,  sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik, walaupun dia menaik hatimu.   Mereka mengajak ke neraka. Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunana dengan izin-Nya.  Dan Allah menerangkan ayat-ayat_Nya (perintah-perintah_Nya) kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran".[14]

C. WANITA-WANITA YANG HARAM UNTUK DINIKAHI (MAHRAM)
Mahram adalah wanita yang haram untuk dinikahi. Mahram terbagi menjadi dua, yaitu:
1.    Mahram Muabbad.
Mahram Muabbad adalah wanita yang haram dinikahi selama-lamanya. Antara seorang dengan mahram Muabbadnya diperbolehkan untuk bercampur baur (ikhtilath), berdua-duaan (khalwat), menemani dalam safar, dan berjabat tangan. Mahram Muabbad ada tiga yaitu:

a)    Larangan kawin karena pertalian nasab
Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ...
Artinya : "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara mu yang laki laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudara mu yang perempuan". (QS.An-Nisa:23).
Berdasarkan ayat tersebut , wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya karena pertalian nisab adalah:
1)   Ibu: yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas).
2) Anak Perempun: ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan (baik dri anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan seterusnya kebawah).
3)   Saudara Perempuan (baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja).
4)    Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, (baik saudara sekandung ayah atau ibu dan seterusnya keatas).
5)   Kemanakan (Keponakan) Perempuan: yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.[15]

b) Larangan kawin karena hubungan sesusuan.
Berdasarkan pada lanjutan Surah An-Nisa ayat 23 :
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَة...
(Diharamkan atas kamu mengawini) “ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan…”. 
Jika diperinci hubungan sesusuan yang diharamkan adalah:
1)   Ibu Susuan: yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehinggah haram melakukan penikahan.
2)   Nenek Susuan: yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan, sehinggah haram melakukan pernikahan.
3)   Bibi Susuan: yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya keatas.
4)   Kemakan Susuan Perempuan: yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
5)   Saudara Susuan Perempuan, (baik saudara seayah kandung maupun seibu saja).[16]

c)      Larangan kawin karena hubungan pernikahan (Mushaharah)
Keharaman itu disebutkan dalam lanjutan ayat 23 Surah An-Nisa:
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ...                                                        
Dan (diharamkan) “ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…”

Jika diperincikan sebagai berikut:
1)   Mertua Perempuan, Nenek Perempuan Istri, dan seterusnya keatas, baik garis ibu atau ayah.
2)   Anak Tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut.
3)   Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.
4)   Ibu Tiri, yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan ayah.[17]

2.    Mahram Muaqqad.
Mahram Muaqqad adalah wanita yang haram dinikahi untuk sementara waktu. Yang termasuk Mahram Muaqqad yaitu:
a)    Dua Permpuan Bersaudara, haram dikawini oleh seseorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam lanjutan surat An-Nisa 23:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْن...
(dan diharamkan atas kamu) “menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara…”
b)  Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Disebutkan dalam Surat An-Nisa 24:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ...
Dan (diharamkan) juga wanita yang bersuami…
c)   Wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah cerai maupun ‘iddah ditinggal mati. Berdasarkan firman Allah Al-Baqarah ayat 228 dan 234.
d)   Wanita yang ditalaq tiga. Haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalu sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya. Dalam firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 229-230.
e)    Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh dikawini. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwyatkan oleh Imam Muslim dan Utsman bin Affan: “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang”.
f) Wanita Musyrik, ialah wanita yang menyembah selain Allah. Berdasarkan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah 24.[18]

D. PUTUSNYA PERKAWINAN DAN SEBAB-SEBABNYA.
Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Perceraian dalam istilah fiqh juga sering disebut “furqah” yang artinya “bercerai”, yaitu “lawan dari berkumpul.”
Menurut hukum Islam ada beberapa bentuk perceraian sebagai berikut:

1.    Talak
Kata talak berasal dari kata “ithlaq”. Sedangkan secara istilah talak menurut Sayyid Sabiq adalah “melepaskan ikatan perkawinan”.[19] Menurut al Jaziry talak adalah:
الطلاق ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ مخصوص
talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan suami. Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'I sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di shahih kan oleh Hakim).

2.    Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khala’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya.  Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwadh atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.[20]

3.    Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan perkawinan. Kemudian secara terminologi fasakh  bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh  Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.[21]
Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab fasakh adalah sebagai berikut:
a)    Syiqaq. Yakni pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin didamaikan.
b)   Fasakh karena cacat. Cacat di sini adalah cacat yang terdapat pada diri suami atau isteri, baik cacat jasmani atau rohani. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami isteri bergaul. Fasakh karena cacat ini dilakukan di lakukan di hadapan hakim Pengadilan dan tidak dapat dilakukan sendiri setelah pihak-pihak mengetahui adanya cacat tersebut. Hal ini karena cacat itu harus dibuktikan, yang mana hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.
c) Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Fasakh dalam hal ini terjadi karena suami tidak mampu menunaikan kewajiban berupa nafkah dalam berupa nafkah dalam bentuk belanja, pakaian, dan tempat tinggal.
d)   Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan. Termasuk karena dalam hal ini adalah perjanjian untuk tidak dimadu dan ta’liq thalaq.[22]


BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Munakahat atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hukum melakukan pernikahan yaitu: wajib, mustahab (dianjurkan), makruh, dan haram. Ada beberapa nikah yang dilarang, seperti nikah mut’ah, asy-syighar, al-muhalil, al-ihram, ketika ‘iddah, dan tanpa wali serta menikahi wanita kafir bukan ahli kitab. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan yaitu calon suami dan istri, wali dari pihak calon pengantin wanita, dua orang saksi dan adanya sighat akad nikah.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S An-Nisa:23). Bentuk-bentuk perceraian dalam islam adalah talak, kulluh, dan fasakh.



DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum Positif). Yoqyakarta: UII Pers.
Basyir, Ahmad Azhar. 1980. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII.
Depertemen Agama RI. 1997. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Hasan, M. Ali. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media.
Irfan, Abu Hafizah. 2015. Fiqh Munakahat. Pasuruan: Pustaka Al-Bayyinah.
Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqh Sunnah. Beirut: Dar al Fikr.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2005. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Yusuf, Ali. 2010. Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam. Jakarta: Amzah.



[1]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 2.
[2]Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2005), hal. 7.
[3]M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 5.
[4]Depertemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), hal. 14.
[5]Abu Hafizah Irfan, Fiqh Munakahat, (Pasuruan: Pustaka Al-Bayyinah, 2015), hal. 3.
[6]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 46-47.
[7]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 50.
[8]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 54-55.
[9]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 57.
[10]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 59.
[11]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hal.  64.
[12]Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 135-137.
[13]Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman…, hlm. 138.
[14]Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman..., hlm. 138-139.
[15]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 104-105.
[16]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 106.
[17]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 108.
[18]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 112-114.
[19]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 2007), Juz. II,  hal. 577.
[20]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum Positif), (Yoqyakarta: UII Pers, 2011), hal. 105-106.
[21]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan.., hal. 141.
[22]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII, 1980), hal. 78.

Comments

Popular posts from this blog

SYAR'U MAN QABLANA

ULUMUL HADIST : Sanad, Matan, dan Rawi Hadist

MAKALAH TEORI KONSUMSI : INDIFFERENT CURVE

HADIST-HADIST EKO. TENTANG ANJURAN JUAL BELI

TASAWUF DI INDONESIA

AKAD DAN KHIYAR

ISLAMIC BANKING

KONSEP KEBUTUHAN DALAM EKONOMI SYARIAH

MANAJEMEN ORGANISASI