FIQH MUNAKAHAT_
MUNAKAHAT
DOSEN PENGAMPUH: Dr. H. M. JAMIL, M.A.
DOSEN PENGAMPUH: Dr. H. M. JAMIL, M.A.
DAFTAR ISI
Daftar
Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
B.Rumusan
Masalah
C.Tujuan
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Munakahat
1. Hukum Melakukan Pernikahan
2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
B.Pernikahan
yang di Larang
C.Wanita
yang Haram untuk di Nikahi (Mahram)
1. Mahram Muabbad
2. Mahram Muaqqad
D.Putusnya
Pernikahan dan Sebab-Sebabnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Islam
adalah agama yang universal, agama yang mencakup semua isi kehidupan. Tidak ada
suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada
satupun masalah yang tidak isentuh nilai islam, walaupun masalah tersebut
tampak kecil dan sepele. Itulah islam, agama yang member rahmat bagi sekalian
alam.
Allah
telah menciptakan segala sesuatu yang berpasang-pasangan. Ada lelaki, ada
wanita. Allah memberi karunia kepada manusia berupa pernikahan untuk memasuki
jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan
generasinya.
Dalam
masalah perkawinan, islam telah berbicara banyak. Mulai dari bagaimana defenisi
pernikahan menurut kaidah islam, hukum dalam melakukan pernikahan, rukun,hukum,
dan syarat sah pernikahan, pernikahan yang dilarang oleh islam, wanita yang
haram untuk dinikahi, putusnya pernikahan dan akibat dari putusnya pernikahan
tersebut, dan banyak hal yang lain sebagainya. Oleh karena itu, melalui makalah
ini kami ingin membahas pernikahan yang sesuai dengan syariatNya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah
yang akan dibahas pada penulisan kali ini, yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari pernikahan?
2. Apa hukum dalam melakukan
pernikahan?
3. Apa saja rukun, dan syarat sah
pernikahan?
4. Apa saja pernikahan-pernikahan yang
dilarang oleh agama Islam?
5. Siapa saja wanita yang haram untuk
dinikahi?
6. Bagaimana putusnya pernikahan dan
akibat dari putusnya pernikahan?
C. TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini antara lain guna menjawab segala
rumusan masalah yang ada. Diharapkan makalah ini dapat membantu pemahaman
mengenai pernikahan
menurut kaidah islam, hukum dalam melakukan pernikahan, rukun, dan syarat sah
pernikahan, pernikahan yang dilarang oleh islam, wanita yang haram untuk
dinikahi, dan putusnya pernikahan serta akibat dari putusnya pernikahan
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
MUNAKAHAT
Kata munakahat yang terdapat dalam bahasa
Arab, berasal dari kata na-ka-ha, yang terdapat dalam bahasa Indonesia berarti
pernikahan[1]. Munakahat atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yng Maha Esa.[2] Pernikahan dalah suatu cara yang
Allah tetapkan sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan
menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Selain itu,
perkawinan adalah sunatullah yang
dengan sengja diciptakan oleh Allah yang tujuannya untuk melnjutkan keturunan
dan tujuan-tujuan lainnya.[3] Allah SWT berfirman:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Artinya:
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah. (Adh-dhariyat : 49).
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa perkawinan menurut
hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. [4]
1.
Hukum Melakukan Perkawinan.
Menurut
ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah hukum melakukan pernikahan terbagi
menjadi empat, yaitu:
a.Wajib,
menikah wajib hukumnya bagi
seseorang yang memiliki syahwat besar dan khawatir dirinya akan terjerumus pada
perzinahan, jika ia tidak segera menikah. Dengan pernikahan akan dapat menjaga
kehormayannya.
b.Mustahab (dianjurkan),
menikah mustahab hukumnya bagi seseorang yang berhasrat, namun tidak
dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan. Meskipun demikian menikah lebih utama
baginya daripada ia melakukan ibadah-ibadah sunnah. Ini adalah pendapat jumhur
ulama, kecuali Imam Asy-Syafi’I Rahimallah karena menikah merupakan penyempurna
setengah agama. Rasulullah SAW bersabda: “Jika seorang hamba telah menikah,
maka sungguh ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dalam menjaga sisa-Nya” (HR. Thabrani).
c.Makruh,
menikah makruh hukumnya bagi seorang
yang belum berkeinginan untuk menikah dan ia juga belum mampu untuk menafkahi
orang lain. Maka hendaknya ia mempersiapkan bekal untuk menikah terlebih
dahulu.
d.Haram, menikah haram hukumnya bagi
seseorang yang akan melalaikan istrinya dalam hal jima’ dan nafkah, atau karena
ketidakmampuannya dalam hal tersebut.[5]
2.
Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Jumhur
ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami dan istri yang
akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon
pengantin wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul
yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh
calon pengantin laki-laki.[6]
Syarat
sah perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya
terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan
kewajiban sebagai suami istri. Berdasarkan rukun perkawinan diatas, maka syarat
sah perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat kedua mempelai.
1) Syarat pengantin Pria :
· Beragama Islam
· Terang (jelas) bahwa calon suami itu
betul laki-laki
·
Orangnya diketahui dan tertentu
Orangnya diketahui dan tertentu
· Calon mempelai laki-laki itu jelas
halal kawin dengan calon istri
· Calon mempelai laki-laki tahu/ kenal
pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya
· Calon suami rela (tidak dipaksa)
untuk melakukan perkawinan itu
· Tidak sedang melakukan ihram
· Tidak mempunyai istri yang haram
dimadu dengan calon istri
· Tidak sedang mempunyai istri empat[7].
2) Syarat Pengantin Wanita :
· Beragama islam
· Terang bahwa ia wanita
· Wanita itu tentu orangnya
· Halal bagi calon suami
· Wanita itu tidak dalam ikatan
perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah
· Tidak dipaksa/ ikhtiyar
· Tidak dalam keaadan ihram haji atau
umrah[8].
b. Syarat-syarat Ijab Kabul :
1) Perkawinan wajib dilakukan dengan
ijab dan Kabul dengan lisan. Namun bagi orang bisu sh perkawinannya dengan
isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
2) Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai
perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau
wakilnya.
3) Ijab dan Kabul dilakukan di dalam
satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang
dapat merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing masing ijab dan
Kabul bisa didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi
4) Lafazh yang digunakan untuk akad
nikah adalah lafazh nikah atau tazwij.[9]
c. Syarat-syarat Wali :
1)Perkawinan dilangsungkan oleh wali
pihak mempelai perempuan atau wakilnya, dengan calon suami dan wakilnya.
2)Wali hendaklah seorang laki-laki,
muslim, baliqh, berakal dan ail (tidak fasik).[10]
d. Syarat-syarat Saksi :
1) Berakal
2) Baliqh
3) Merdeka, bukan budak
4) Islam
5) Kedua orang saksi itu mendengar.[11]
B.
PERNIKAHAN YANG DILARANG
Macam-macam
pernikahan yang dilarang ialah sebagai berikut:
1. Nikah Mut’ah, merupakan pernikahan sementara yang disepakati antara dua
pihak. Dapat diketahui bahwa nikah mut’ah dilarang dan demi kebaikan manusia,
karena dengan ini hilanglah keturunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas
untuk pemenuhan syahwat oleh laki-laki dengan merendahkan kepribadian
perempuan, maka wajib keharamannya.
2. Nikah Asy-Syighar, yaitu seorang wali yang menikahkan ke walinya seorang
laki-laki dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya, baik mereka
menyebutkan maharnya atau tidak. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
“Dari
Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melarang syighar, Ibnu Namir
menambahkan, syighar yaitu seorang laki-laki yang mengatakan ‘Nikahkanlah aku
dengan anak perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan anak perempuanku’,
atau ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan
saudara perempuanku’”.
3.
Nikah Al-Muhallil, yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita
yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut
mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahkan kembali
oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah
wanita itu selesai. Nikah semacam ini haram hukumnya an ter,asuk dalam
perbuatan dosa besar, berdasarkan riwayat ibnu Mas’ud : “Rasulullah SAW melaknat Muhallil
dan muhallal lahu”.[12]
4.
Nikah Al-Muhrim, adalah seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan ‘ihram untuk haji atau umrah
sebelum tahallul. Hukum pernikahan ini haram, yakni mengharuskan batall.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat ‘Utsman bin Affan r.a :
“Seorang
yang sedang ihram tidak diperbolehkan untuk menikah, dinikahkan, dan melamar”.
5.
Nikah Masa ‘Iddah, yaitu laki-laki menikahi perempuan yang masih ‘iddah baik
karena perceraian ataupun kematian. Prnikahan ini haram hukumnya. Hal ini
berdasarkn firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah Ayat 235 :
ۚ وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ
Artinya : “Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya”.[13]
6. Nikah Tanpa Wali, yaitu laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya.
Nikah ini batil karena kurangnya rukun pernikahan yaitu wali. Diriwayatkan dari
‘Aisyah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa
seizing walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nukahnya batil”.
7.
Nikah Dengan Perempuan Kafir Selain Ahli Kitab, Haram bagi seorang muslim untuk
menikahi dengan kafir atau majusi baik ia menyembah api, komunisme, atau
berhala. Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 221 Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya
: "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik, walaupun dia menaik hatimu. Mereka mengajak ke neraka. Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunana dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat_Nya (perintah-perintah_Nya) kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran".[14]
C. WANITA-WANITA
YANG HARAM UNTUK DINIKAHI (MAHRAM)
Mahram
adalah wanita yang haram untuk dinikahi. Mahram terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Mahram Muabbad.
Mahram Muabbad adalah wanita yang haram dinikahi
selama-lamanya. Antara seorang dengan mahram
Muabbadnya diperbolehkan untuk
bercampur baur (ikhtilath), berdua-duaan (khalwat), menemani dalam safar, dan
berjabat tangan. Mahram Muabbad ada
tiga yaitu:
a)
Larangan kawin karena pertalian
nasab
Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah ta’ala
:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ...
Artinya
: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara mu yang laki laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudara mu yang perempuan". (QS.An-Nisa:23).
Berdasarkan ayat tersebut , wanita-wanita yang haram
dinikahi untuk selama-lamanya karena pertalian nisab adalah:
1) Ibu:
yang dimaksud ialah perempuan yang
ada hubungan darah dalam garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik
dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas).
2) Anak
Perempun: ialah
wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah, yakni anak
perempuan, cucu perempuan (baik dri anak laki-laki maupun dari anak perempuan
dan seterusnya kebawah).
3) Saudara
Perempuan (baik
seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja).
4) Bibi:
yaitu saudara perempuan ayah atau
ibu, (baik saudara sekandung ayah atau ibu dan seterusnya keatas).
5) Kemanakan
(Keponakan) Perempuan:
yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya
kebawah.[15]
b) Larangan kawin karena hubungan
sesusuan.
Berdasarkan pada lanjutan Surah An-Nisa ayat 23 :
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَة...
(Diharamkan atas kamu mengawini)
“ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan…”.
Jika
diperinci hubungan sesusuan yang diharamkan adalah:
1) Ibu
Susuan: yaitu ibu
yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak,
dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehinggah haram melakukan
penikahan.
2) Nenek
Susuan: yaitu ibu
dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu
yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan, sehinggah haram
melakukan pernikahan.
3) Bibi
Susuan: yakni
saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan
seterusnya keatas.
4) Kemakan
Susuan Perempuan:
yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
5) Saudara
Susuan Perempuan, (baik
saudara seayah kandung maupun seibu saja).[16]
c) Larangan kawin karena hubungan
pernikahan (Mushaharah)
Keharaman
itu disebutkan dalam lanjutan ayat 23 Surah An-Nisa:
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ...
Dan
(diharamkan) “ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…”
Jika diperincikan sebagai berikut:
1) Mertua
Perempuan, Nenek Perempuan Istri, dan seterusnya keatas, baik garis ibu atau ayah.
2) Anak
Tiri, dengan
syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak
tersebut.
3) Menantu,
yakni istri anak, istri cucu, dan
seterusnya kebawah.
4) Ibu
Tiri, yakni
bekas istri ayah, untuk ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual
antara ibu dengan ayah.[17]
2.
Mahram Muaqqad.
Mahram Muaqqad adalah wanita yang haram dinikahi
untuk sementara waktu. Yang termasuk Mahram
Muaqqad yaitu:
a)
Dua Permpuan Bersaudara, haram dikawini oleh seseorang laki-laki dalam waktu yang
bersamaan. Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu
disebutkan dalam lanjutan surat An-Nisa 23:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْن...
(dan
diharamkan atas kamu) “menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara…”
b) Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh seorang
laki-laki. Disebutkan dalam Surat An-Nisa 24:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ...
Dan
(diharamkan) juga wanita yang bersuami…
c) Wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah cerai maupun ‘iddah
ditinggal mati. Berdasarkan firman Allah Al-Baqarah ayat 228 dan 234.
d)
Wanita yang ditalaq tiga. Haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalu sudah
kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh
suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya. Dalam firman Allah Surah
Al-Baqarah ayat 229-230.
e)
Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak
boleh dikawini. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwyatkan oleh Imam Muslim
dan Utsman bin Affan: “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh
menikahkan, dan tidak boleh pula meminang”.
f) Wanita Musyrik, ialah wanita yang menyembah selain Allah. Berdasarkan firman
Allah dalam Q.S Al-Baqarah 24.[18]
D. PUTUSNYA
PERKAWINAN DAN SEBAB-SEBABNYA.
Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa
perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan
untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Perceraian
dalam istilah fiqh juga sering disebut “furqah” yang artinya “bercerai”, yaitu
“lawan dari berkumpul.”
Menurut hukum Islam ada beberapa bentuk perceraian sebagai
berikut:
1.
Talak
Kata talak berasal dari kata “ithlaq”. Sedangkan secara
istilah talak menurut Sayyid Sabiq adalah “melepaskan ikatan perkawinan”.[19]
Menurut al Jaziry talak adalah:
الطلاق ازالة النكاح او نقصان حله
بلفظ مخصوص
talak
adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang
berada ditangan suami. Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami
boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini
sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali
al-Nasa'I sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه
الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Ada tiga perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi
sungguh-singguh dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan
rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di shahih kan
oleh Hakim).
2.
Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khala’ al-tsaub” yang berarti
melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah
pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya.
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti
menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar
uang ‘iwadh atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan
cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak
memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Perceraian akan terjadi bila isteri
telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.[20]
3.
Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan
perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan
perkawinan. Kemudian
secara terminologi fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan
oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena
pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.[21]
Adapun
yang menjadi faktor-faktor penyebab fasakh adalah sebagai berikut:
a) Syiqaq. Yakni pertengkaran antara
suami isteri yang tidak mungkin didamaikan.
b) Fasakh karena cacat. Cacat di sini adalah cacat yang terdapat pada diri suami atau isteri,
baik cacat jasmani atau rohani. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku
setelah terjadi perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami
isteri bergaul. Fasakh karena cacat ini dilakukan di lakukan di hadapan
hakim Pengadilan dan tidak dapat dilakukan sendiri setelah pihak-pihak
mengetahui adanya cacat tersebut. Hal ini karena cacat itu harus dibuktikan,
yang mana hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.
c) Fasakh karena ketidakmampuan suami
memberi nafkah. Fasakh dalam hal
ini terjadi karena suami tidak mampu menunaikan kewajiban berupa nafkah dalam
berupa nafkah dalam bentuk belanja, pakaian, dan tempat tinggal.
d) Fasakh karena melanggar perjanjian
dalam perkawinan. Termasuk karena dalam hal
ini adalah perjanjian untuk tidak dimadu dan ta’liq thalaq.[22]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Munakahat atau pernikahan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hukum melakukan pernikahan yaitu: wajib, mustahab (dianjurkan), makruh,
dan haram. Ada
beberapa nikah yang dilarang, seperti nikah mut’ah, asy-syighar, al-muhalil, al-ihram,
ketika ‘iddah, dan tanpa wali serta menikahi wanita kafir bukan ahli kitab. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun
perkawinan yaitu calon suami dan istri, wali dari pihak calon pengantin wanita,
dua orang saksi dan adanya sighat akad nikah.
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S An-Nisa:23).
Bentuk-bentuk perceraian dalam islam adalah talak, kulluh, dan fasakh.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori,
Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum
Positif).
Yoqyakarta: UII Pers.
Basyir,
Ahmad Azhar. 1980. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII.
Depertemen
Agama RI. 1997. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Ghozali,
Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat.
Jakarta: Kencana.
Hasan, M.
Ali. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga
Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media.
Irfan, Abu
Hafizah. 2015. Fiqh Munakahat. Pasuruan:
Pustaka Al-Bayyinah.
Sabiq,
Sayyid. 2007. Fiqh Sunnah. Beirut: Dar al Fikr.
Syarifuddin,
Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2005. Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Yusuf,
Ali. 2010. Fiqh Keluarga Pedoman
Berkeluarga Dalam Islam. Jakarta: Amzah.
[1]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.
2.
[2]Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2005),
hal. 7.
[3]M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hal. 5.
[4]Depertemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), hal. 14.
[5]Abu Hafizah Irfan, Fiqh Munakahat, (Pasuruan: Pustaka Al-Bayyinah, 2015), hal. 3.
[6]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 46-47.
[7]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 50.
[8]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 54-55.
[9]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 57.
[10]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 59.
[11]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana,
2003), hal. 64.
[12]Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 135-137.
[13]Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman…, hlm. 138.
[14]Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman..., hlm. 138-139.
[15]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana,
2003), hal. 104-105.
[16]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 106.
[17]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 108.
[18]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.., hal. 112-114.
[19]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 2007), Juz.
II, hal. 577.
[20]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum
Positif), (Yoqyakarta: UII Pers, 2011), hal. 105-106.
[21]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan.., hal. 141.
[22]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII, 1980),
hal. 78.
Comments
Post a Comment